“So, apa yang kau lakukan jika kau jatuh cinta pada seorang wanita?”
Pertanyaan sederhana ini dilontarkan temanku lewat Facebook setelah ia membaca tulisanku di notes yang berjudul “Ketika Hati Pernah Terbagi”. Sesaat, setengah terburu saya ingin menjawab, “Tenang saja, saya ini tidak mudah jatuh cinta kok.” Tapi… ah, saya bukan orang suci. Bisa saja kujawab seperti itu lantaran saat ini saya memang tidak sedang jatuh cinta, tapi bagaimana besok, atau lusa? Alhasil, ku urung memberi jawaban.
Memang, sekilas pertanyaan tersebut sederhana, namun lebih sulit mencari jawabannya ketimbang ditanya, ”Bagaimana sikapmu jika orang lain jatuh cinta kepadamu?” Pertanyaan ini jelas lebih sulit karena memiliki janji dan pembuktian akan sebuah kepribadian diri kita. Salah-salah memberi jawaban, harga diri taruhannya.
Maka dari itu, sejak saya memosting tulisan Ketika Hati Pernah Terbagi pada Februari lalu, pertarungan hati kerap terjadi, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Apa yang harus saya lakukan jika saya jatuh cinta?
+ Pe De Ka Te, tembak, trus jadian, deh!
- Hm, itu mah tradisi jahiliyah. Gak ikhwan banget…
+ Pe De Ka Te, trus jalani hubungan tanpa status. Gak pacaran lho!
- Ah, sama aja. Itu kan zina hati. Dosa-dosa juga! Kurang gentle…
+ Langsung ajak nikah aja!
- Waduh, belum siap materi nih! Ini belum… itu belum… (berbagai alasan bermunculan).
+ Ikut Take Me Out! Atau program terbaru, Cari-Cari Mantu!
- Jawaban macam apa ini?
+ Jadi jutek!
- Sumpah, gak ada untungnya… Merusak ukhuwah, penimbul fitnah, penambah amarah.
+ Minta maaf!
- Emang salah apa gue?
+ Ah, ribet amat. Yaudah, diam aja dah!
Diam? Hm, sesaat saya terdiam menekuri jawaban ini. Apakah diam adalah jawaban terbaik untuk seseorang yang sedang jatuh cinta? Apakah diam menjadi solusi terjitu untuk menghindari kemaksiatan? Apakah diam yang harus saya lakukan?
Sejenak saya teringat bahwa sejatinya kehidupan ini adalah dinamis. Itu sebabnya ada perubahan. Lihat saja diri kita yang berkembang dari bayi menjadi dewasa. Kuku dan rambut selalu tumbuh. Bahkan, sel darah pun senantiasa berganti setiap waktunya. Lingkungan di sekitar juga selalu berubah. Mungkin yang tadinya tanah lapang, kini telah menjadi gedung tinggi menjulang. Intinya, semua berubah. Tak ada yang diam. Lantas kenapa ketika jatuh cinta kita harus diam? Tentu harus action, dong!
Nah, pertanyaannya, action seperti apakah yang dapat menanggulangi hati tanpa ada kemaksiatan yang menyertai?
Baru-baru ini, saat membahas motivasi di pelajaran Psikologi, ada satu teori yang cukup menarik, namanya teori Gerungan. Saya kira teori ini dapat dikaitkan dengan pembahasan cinta yang sedang kita bicarakan. Teori ini berbicara pada tiga hal: pengetahuan, kesadaran, dan sikap.
Seperti jawaban klasik yang sudah-sudah, dalam segala hal kita memang harus punya (ilmu) pengetahuan, termasuk ilmu tentang cinta (tapi yang syar’i, loh). Maka dari itu jangan pernah kita puas dalam mencari ilmu. Ya, ibarat penyakit tubuh, bagaimana kita mau mengobatinya kalau kita tidak punya ilmunya? Nah, hati juga begitu. Kita harus tahu hakikat cinta itu apa dan bagaimana karakteristiknya. Sehingga dengan begitu diharapkan mudah menanggulangi hati jika ternyata sudah tercuri oleh bidadari. Kenapa begitu? Karena dengan ilmu, kita akan dihadapkan pada kenyataan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
Selanjutnya, ketika (ilmu) pengetahuan telah didapatkan, maka ia akan mengantarkan kita pada sebuah kesadaran. Hati kita diketuk untuk sadar bahwa jatuh cinta itu tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Jatuh cinta itu adalah pilihan, dan setiap pilihan mengandung konsekuensi dan tanggung jawab. Cinta bukan hanya masalah suka sama suka, tapi juga perlu adanya kepemahaman dan kesadaran untuk melengkapi faktor-faktor lain demi membentuk ikatan cinta yang kokoh, seperti kedewasaan, kemapanan, kesabaran, dan lain sebagainya. Kita kudu paham bahwa cinta tanpa tanggung jawab adalah kehancuran. Ibarat habis manis sepah dibuang. Na’udzubillah.
Namun kesadaran tanpa aktualisasi sama saja dengan omong kosong. Tanggung jawab perlu direalisasikan melalui sikap. Jika jatuh cinta, ya tanggung jawab. Dengan apa? Jika sudah mampu ya dengan menikah, namun jika belum ya banyak-banyaklah berpuasa dan menjaga hati. Soal menjaga hati, Opick memberikan lima perkara: baca Qur’an dan maknanya, mendirikan shalat malam, berkumpul dengan orang yang shalih, perbanyak berpuasa, dan memperbanyak dzikir malam.
Ya, sekiranya itulah jawaban yang saya miliki manakala pertanyaan serupa hadir kembali nantinya. Cinta itu harus diikuti dengan tanggung jawab, yang lahir atas sebuah kepemahaman dan diaktualisasikan melalui capaian menggapai surga-Nya. Tanggung jawab pada diri sendiri, pada orang yang kita cintai, pada keluarga, pada lingkungan, juga yang terpenting adalah kepada Allah SWT.
Nah, pertanyaan kemudian adalah bagaimana jika setelah melakukan itu semua kita masih saja jatuh cinta pada lawan jenis? Sekali lagi jawaban klasik hadir: Itu fitrah. Namun fitrah serupa dua mata pisau, dapat menyelamatkan, tapi juga dapat membinasakan. Maka dari itu perbanyaklah istighfar dan bersabar.
Sebetulnya, jatuh cinta boleh saja. Tapi jangan sampai jatuh cinta di saat yang tidak tepat, sehingga dapat membawa kita pada kefuturan, jauh dari Allah SWT. Maka dari itu, ketika jatuh cinta, ubahlah energi itu sebagai batu loncatan positif untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga apa yang kita lakukan akan menambah nilai ruhiyah atau ibadah kita. Yakinlah, bila jodoh tak akan ke mana.
Allahu a’lam…
Post a Comment